Masjid Gedhe Mataram merupakan masjid tertua di Jogja sekaligus warisan peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Jogja. Masjid ini sudah berdiri sejak tahun 1587 oleh Kanjeng Panembahan Senopati Sutawijaya, pendiri Mataram Islam.
Berbeda dengan masjid pada umumnya, masjid yang terletak di Dusun Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Bantul ini memiliki bentuk bangunan yang istimewa, karena masjid ini dikelilingi oleh tembok tinggi memutari masjid. Tembok ini membentuk sebuah benteng yang kokoh melindungi Masjid Gedhe Mataram.
Tembok di Masjid Gedhe Mataram memiliki warna oranye berdiri gagah dengan tinggi sekitar 2 meter. Pada puncak tembok ini terdapat ‘kemuncak’, yang merupakan bagian atas atau puncak candi yang biasanya terdapat pada candi-candi peninggalan agama Hindu dan Buddha.
Abdi Dalem Masjid Gedhe Mataram, Warisman (70), menjelaskan sejarah mengapa terdapat benteng dari agama Hindu-Buddha yang memutari Masjid Gedhe Mataram. Pada mulanya, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan tanah perdikan (balas raja kepada seseorang yang dianggap berjasa bagi kerajaan) berupa Hutan Mentaok.
Tanah tersebut diberikan setelah Ki Ageng Pemanahan bersama Ki Panjawi berhasil membunuh Arya Penangsang dari Jipang. Lalu Ki Ageng Pemanahan beserta keluarganya pun bergegas menuju ke Hutan Mentaok.
Potret tembok yang mengeliling Masjid Gedhe Mataram di Banguntapan, Bantul, Selasa (19/3/2024). Foto: Azhar Hanifah/detikJogja
Dalam perjalanannya menuju Hutan Mentaok, ia singgah di Candi Prambanan dan berinteraksi dengan masyarakat Hindu-Buddha di sekitar. Dari interaksi ini, akhirnya para masyarakat Hindu-Buddha sepakat untuk ikut membantu membuka Hutan Mentaok dan ingin menetap di sana.
“Dari singgahnya beliau ini, akhirnya masyarakat Hindu-Buddha di sekitar setuju untuk membantu membuka Hutan Mentaok dengan catatan mereka tinggal di sana,” ucap Warisman kepada detikJogja, Selasa (19/03/2024), di lokasi.
Maka dari itu, dibukalah Hutan Mentaok dengan berlandaskan Catur Gatra Tunggal, yang artinya empat wujud menjadi satu. Catur Gatra Tunggal ini memiliki diwujudkan dalam 4 tempat yang meliputi kerajaan, alun-alun, pasar, dan masjid.
Warisman menambahkan bahwa saat membangun masjid ini, masyarakat dari agama Hindu-Buddha juga ikut membantu dan diberi tugas oleh Ki Ageng Pemanahan untuk membuat gerbang masjid sesuai dengan selera mereka,
“Pada saat itu, masyarakat yang yang beragama Hindu-Buddha diberi tugas oleh Ki Ageng Pemanahan untuk membangun gerbang masjid dengan bebas sesuai dengan yang selera yang membangun. Akhirnya jadilah seperti ini,” ujarnya.
Tembok yang mengitari Masjid Gedhe Mataram ini belum pernah direnovasi sama sekali sejak awal berdirinya pada 1587. Hanya saja, sempat dilakukan plester semen ketika terjadi gempa pada 2006 silam.
“Tembok ini belum pernah direnovasi sejak berdiri. Hanya saja, pada gempa 2006 tembok retak terus diplester semen,” pungkasnya.
sumber: https://www.detik.com/jogja/budaya/d-7261413/tembok-masjid-gedhe-mataram-bukti-akulturasi-islam-dan-hindu-buddha.